Media Baru dan Media Cetak

Sumber Gambar: Pixabay

Era digitalisasi telah membuat media massa baru bermunculan. Kini, membaca berita tidak perlu repot lagi harus membuka lembaran kertas yang cukup memakan tempat atau merogoh kocek hingga puluhan ribu untuk sekali baca. Kecanggihan teknologi memberikan kemudahan bagi publik untuk mengakses informasi hanya dengan sentuhan jari di atas layar gawai. Lalu, akankah kehadiran media baru ini membuat media cetak tiba pada akhir peradabannya?

Senjakala Media Cetak

Diakui atau tidak, salah satu penyebab media cetak kurang digemari lagi karena adanya kehadiran media baru, yakni media online dan media elektronik (televisi dan radio). Publik cenderung senang mengakses informasi yang mudah dijangkau, interaktif, dan dekat dengan mereka. Dalam hal ini, media online dan media elektronik telah mampu menjawab keinginan dan kebutuhan publik.

Salah satu perubahan kondisi yang terjadi pada media cetak ketika media baru ini muncul adalah berawal dari teks hingga menjadi hypertext. Media cetak umumnya menyajikan informasi dalam bentuk teks, sedangkan pada media online dan media elektronik penyajian informasi lebih beragam, seperti fitur audio, video, motion grafis, dan sebagainya. Tampilan yang dimiliki media online dan media elektronik mampu untuk membuat publik cepat beralih dari media cetak ke media baru tersebut.

Tak hanya itu, ada pun faktor lain yang membuat media cetak harus berada di ambang kejatuhan. Hal ini dikarenakan biaya produksi pada media cetak cukup tinggi. Terkadang, hasil penjualan media cetak tidak dapat menutupi modal percetakan sehingga mengalami kerugian.

Kualitas

Untuk menentukan sebuah berita yang berkualitas tidak bisa dilihat dari satu aspek saja. Misalnya media cetak, terutama koran, terkenal dengan penyajian beritanya yang lebih lengkap dibandingkan media massa lainnya. Selain itu, media online terkenal mengandalkan aspek kecepatan waktu daripada keakuratan beritanya. Apa semua itu benar? Belum tentu.

Pada dasarnya, kualitas dari berita itu ditentukan dari bagaimana cara menyampaikan suatu informasi agar mudah dimengerti publik, akurat, lengkap, dan aktual. Dalam hal ini, orang yang berwenang ialah seorang jurnalis, bukan media yang digunakan. Karena itu, jurnalis dituntut untuk profesional dalam bekerja.

Kekeliruan yang terjadi selama ini hanya mengarah pada platform atau media yang digunakan untuk penyebaran informasi, bukan pada kualitas jurnalistik. Artinya, asumsi mengenai jurnalisme media cetak jauh lebih baik dibandingkan karya jurnalistik yang ada pada media online dan media elektronik adalah tidak benar.

Mengutip salah satu perkataan anggota Dewan Pers Nezar Patria, “Technology is easy, but journalism is hard”. Memang benar adanya seperti itu. Jadi, jangan salahkan platform sebagai biang perkara dalam sebuah pemberitaan, tapi kualitas dari pemberitaan inilah yang harus diperhatikan.

Masa Depan?

Saat ini kita sudah memasuki era kecanggihan teknologi. Zaman di mana teknologi digital dan internet kian berkembang telah menghadirkan media “baru”, seperti media online dan media elektronik (radio dan televisi). Ketidakmampuan media cetak untuk bersaing dengan kedua media tadi bisa-bisa berujung kemalangan atau terpaksa gulung tikar.

Penutupan sejumlah media cetak dari tahun ke tahun bukanlah sesuatu yang mengherankan lagi bagi industri media di era serba canggih ini. Kejadian tersebut berlaku untuk seluruh perusahaan media di dunia, termasuk Indonesia. Salah satu surat kabar legendaris, Sinar Harapan, buktinya harus berhenti menyapa para pembaca tepat pada akhir tahun 2015. Lalu, disusul juga dengan kepergian majalah musik ternama Rolling Stone Indonesia pada 1 Januari 2018.

Dari pemaparan singkat di atas, bisa disimpulkan bahwa keberadaan teknologi digital dan internet telah membuat media cetak semakin tergerus. Untuk mengimbangi kemajuan digitalisasi tersebut, media cetak harus melakukan berbagai upaya, di antaranya dengan memberikan pelayanan yang cepat bagi para pelanggan melalui proses digital.

Dengan kata lain, surat kabar, majalah, atau bahkan tabloid akan tetap ada. Hanya saja, media yang digunakannya berubah menjadi digital, contohnya adalah e-paper. Kini, surat kabar hadir dengan bentuk digital atau populer dengan sebutan koran digital (bahasa Inggris: e-paper). Mengapa? Perubahan teknologi komunikasi dan informasi seiring berjalannya waktu secara perlahan telah memberikan dimensi baru bagi perkembangan pers di mana pun berada, termasuk Indonesia. Internet dengan kemampuan menjangkau seluruh belahan dunia tanpa batasan, secara perlahan dan pasti, diadopsi media massa di tanah air untuk mendukung kegiatan jurnalistiknya. Perangkat teknologi komunikasi dan informasi dengan sifatnya yang global membawa pengaruh dalam perkembangan bentuk media pers.

Surat kabar digital tidak perlu lagi menggunakan alat cetak dan kertas sebagai sarana penerbitannya sehingga dapat meminimalisir biaya pengeluaran untuk produksi. Para pembaca pun dimudahkan dengan kehadiran e-paper ini karena selain praktis, interaktif, dan bisa diakses melalui gawai, penyajian bentuk berita e-paper sama dengan struktur pemberitaan di surat kabar konvensional.

Kehadiran internet dan digital tidak seharusnya dijadikan musuh. Media cetak harus menyikapi media baru sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas pemberitaan dengan cara memahami kebutuhan komunikasi dan informasi masyarakat. Tidak selamanya yang konvensional itu baik dan tidak selamanya yang digital itu buruk karena kedua hal tersebut punya porsi masing-masing.

Comments